Mojokerto || Jatim Mitra TNI – POLRI.com
Kasus sengketa tanah bersertifikat di Desa Sumberwono, Kecamatan Bangsal, Kabupaten Mojokerto, kini menjadi sorotan publik.
Towilah bin Satawi, yang mengaku sebagai ahli waris sah dari pemilik tanah bersertifikat hak milik nomor 510 atas nama Satawi, menyatakan dirinya diperlakukan tidak adil oleh pihak perangkat desa.
Towilah mengungkapkan bahwa dirinya telah berkali-kali mengajukan permohonan surat keterangan waris kepada pihak desa, namun selalu ditolak tanpa alasan yang jelas. “Saya sudah membawa semua dokumen yang diperlukan, tetapi tetap saja ditolak. Saya merasa hak saya diabaikan,” ujar Towilah kepada awak media.
Lebih mengejutkan lagi, pihak desa melalui salah satu perangkat berinisial NR menunjukkan adanya surat keterangan waris dan dokumen tukar guling tanah yang diduga kuat palsu. Dokumen tersebut tidak diakui oleh pihak keluarga ahli waris sah dan disebut penuh kejanggalan.
“Kami menduga ini bagian dari permainan yang rapi. Surat waris dan dokumen tukar guling tersebut mencurigakan, dan kami sedang mengumpulkan bukti untuk membawa kasus ini ke ranah hukum,” ungkap perwakilan keluarga Towilah.
Masalah semakin rumit setelah NR mengklaim telah membuat surat pernyataan bersama pihak bernama Kusen terkait pembagian tanah hasil tukar guling. Dalam pernyataan tersebut, tanah akan dipecah menjadi dua: 8,5 meter untuk Kusen dan 6 meter untuk NR. Namun, pihak keluarga Kusen justru menolak keras pembagian ini.
Mu’arif, salah satu anak dari Kusen, menegaskan bahwa keluarganya tidak pernah menyetujui pembagian tersebut. “Kami tidak pernah memberikan persetujuan. Itu hak milik orang tua kami, dan sekarang kami sedang mengurus pengembalian batas serta cek fisik ke kantor BPN Mojokerto untuk mengetahui titik koordinat sebenarnya dari sertifikat itu,” ujar Mu’arif di kediaman Kepala Dusun Sumberame, Kasan.
Ironisnya, ketika awak media mencoba mengonfirmasi lebih lanjut kepada NR, yang sebelumnya sempat memblokir nomor para wartawan, ia justru kembali memblokir setelah sempat merespons singkat. “Ngapunten mas, nggeh… saya sedang fokus mencari biaya pemecahan sertifikat,” katanya sebelum nomor kontak kembali tak bisa dihubungi.
Pihak keluarga Towilah kini berharap aparat penegak hukum, BPN, dan instansi terkait segera turun tangan untuk mengusut tuntas dugaan pemalsuan dokumen dan penyalahgunaan wewenang oleh oknum perangkat desa.
Kasus ini menjadi cerminan bahwa konflik agraria dan manipulasi surat-surat tanah masih menjadi masalah serius di tingkat desa, yang berpotensi merugikan rakyat kecil jika tidak segera ditindak tegas.
Tim/red##