MALANG || JATIM MITRA TNI-POLRI.COM
Jeritan keadilan kembali menggema dari ruang pelayanan kesehatan. Seorang pasien bernama Yulianto melalui kuasa hukumnya, Agus Salim Ghozali, melayangkan somasi kepada RS Pindad/Cokro Turen, Kabupaten Malang.
Somasi ini terkait dugaan malpraktik medis pasca operasi katarak yang justru berakhir dengan kebutaan permanen pada salah satu matanya.
Langkah hukum itu ditempuh pada 3 September 2025, setelah keluarga pasien menilai pihak rumah sakit lalai, tidak transparan, bahkan terkesan menutup-nutupi fakta medis.
Kronologi: Dari Harapan Menuju Gelapnya Penglihatan
Yulianto awalnya mendapat rujukan dari Klinik Global Medica Dampit pada 11 September 2024. Operasi katarak dijadwalkan pada 17 September 2024 dengan operator dr. Rofa, dokter spesialis mata di RS Pindad/Cokro Turen.
Namun, bukannya pemulihan, tragedi justru menanti. Malam pasca operasi, Yulianto mengeluh penglihatan tetap buram. Esoknya, lebih parah lagi: ia kehilangan kemampuan melihat.
Kesaksian istri pasien menguatkan dugaan kelalaian. Permintaan pertolongan medis kala itu nyaris diabaikan. Pasien baru diberi obat nyeri keesokan paginya. Bahkan, pada pukul 10.30 WIB, Yulianto dipulangkan hanya dengan obat tetes mata, meski kondisinya kritis.
Ironisnya, beberapa jam setelah tiba di rumah, darah mengalir deras dari mata pasien hingga ke pipi. Pihak rumah sakit malah meminta dokumentasi kondisi tersebut via WhatsApp, alih-alih penanganan langsung.
Lebih tragis lagi, saat kembali kontrol pada 19 September 2024, keluarga mendapati berkas medis lama pasca operasi diduga disita RS. Pemeriksaan ulang justru berujung rencana operasi kedua dengan diagnosis kerusakan serius pada kornea. Yulianto menolak rawat inap karena merasa trauma sekaligus kecewa.
Kini, sebagai kepala keluarga, ia harus menanggung dampak berat: kehilangan penglihatan dan terancam kehilangan sumber nafkah.
Somasi: Tuntutan Rp 15 Miliar dan Pertarungan Hukum
Dalam somasinya, kuasa hukum menuntut ganti rugi materiil dan immateriil Rp 15 miliar. Nilai itu dianggap sepadan dengan kerugian permanen yang dialami pasien akibat dugaan malpraktik.
Agus Salim Ghozali menegaskan, “Ini bukan sekadar soal uang. Ini tentang akuntabilitas medis, transparansi pelayanan kesehatan, dan hak pasien yang sering kali dikorbankan.”
RS Pindad Membantah: Risiko Medis atau Malpraktik?
Pihak RS Pindad/Cokro Turen melalui Humas, Rizal, bersama tim medis membantah keras tuduhan malpraktik. Mereka mengklaim kondisi pasien merupakan komplikasi medis yang sudah dijelaskan dan disetujui sebelum operasi.
RS bahkan menuding adanya ketidakpatuhan pasien terhadap anjuran medis. Permintaan maaf maupun tuntutan ganti rugi pun ditolak mentah-mentah.
Pertemuan balasan dilakukan di Hotel Cokro Pindad, 20 Agustus 2025, namun berakhir buntu.
Lanjut ke Jalur Hukum dan Pengawasan Publik
Tak berhenti di somasi, kuasa hukum berkomitmen melanjutkan kasus ini ke Ombudsman, Persatuan Dokter Mata Indonesia, hingga aparat penegak hukum.
“Jika dibiarkan, praktik semacam ini akan terus memakan korban. Kami mendesak evaluasi izin praktik dokter dan manajemen rumah sakit yang abai pada hak pasien,” tegas Agus.
Publik Menunggu Transparansi
Kasus ini kini memasuki penyelidikan hukum perdata dan pidana. Namun, publik berhak menuntut transparansi penuh: Apakah benar ini sekadar komplikasi medis, atau ada unsur kelalaian dan malpraktik yang ditutup rapat oleh institusi kesehatan.
Dalam situasi ketika rumah sakit mestinya menjadi benteng keselamatan pasien, kasus Yulianto justru menjadi pengingat pahit: Siapa yang melindungi pasien ketika sistem kesehatan gagal menjaga integritas?
Hingga berita ini diterbitkan, pihak media masih berupaya mengonfirmasi pihak RS Pindad .
( TIMSUS ARF )