banner 728x250

Golkar Gresik Gagal Demokrasi: Musda XI Diselimuti Intimidasi, Instruksi, dan Transaksi

Golkar Gresik Gagal Demokrasi: Musda XI Diselimuti Intimidasi, Instruksi, dan Transaksi

banner 120x600
banner 468x60

Gresik || Jatim Mitra TNI – POLRI.com

Empat hari menjelang Musyawarah Daerah (Musda) ke-XI DPD Partai Golkar Kabupaten Gresik, suhu politik internal partai berlambang pohon beringin kian mendidih.

banner 325x300

Alih-alih menjadi pesta demokrasi kader, Musda yang akan digelar Rabu (3/9/2025) di Hotel Aston, Kebomas, justru dibayangi aroma busuk dugaan rekayasa suara, intimidasi, hingga politik uang.

Sejumlah sumber internal menyebut, pemilik hak suara tidak benar-benar bebas dalam menentukan pilihan. Bahkan, isu paling panas menyebut adanya “perintah” agar sebagian pemilih diarahkan untuk mendukung kotak kosong—sebuah strategi yang menimbulkan tanya besar: siapa sebenarnya yang akan diuntungkan dari skenario ini?

Seorang pemilik hak suara yang meminta identitasnya dirahasiakan membeberkan fakta mengejutkan. Ia mengaku, Kartu Tanda Anggota (KTA) seluruh pemilik hak suara telah ditarik oleh Sekretaris DPD Golkar Gresik, Atek Ridwan, dengan alasan “agar tidak disalahgunakan”. Namun, praktik ini justru dianggap sebagai bentuk pengendalian penuh terhadap arah pemungutan suara.

“Mas Atik yang pegang KTA. Jadi nanti Mas Atik yang tentukan, antara Wongso atau Asroin. Kami harus izin pimpinan, tidak boleh menyempal. Kalau melanggar, ada teguran,” ujar sumber tersebut saat dikonfirmasi, Jumat (29/8/2025).

Dengan kondisi ini, kebebasan setiap pemilik hak suara praktis dikerdilkan. Para pengurus kecamatan (PK), yang memegang peran vital karena jumlah suaranya paling dominan, dipaksa tunduk pada keputusan segelintir elite partai.

Kecurigaan makin tajam ketika seluruh PK dikabarkan mendapat arahan agar mencatat dukungan kosong. Surat resmi Ketua DPD Golkar Gresik saat ini, Nurhamim, disebut-sebut secara terang benderang menginstruksikan hal tersebut.

“Pertanyaannya, kosong ini sebenarnya untuk siapa? Kok bisa ada instruksi resmi mendukung kosong. Apa demokrasi internal Golkar memang sudah habis sampai harus diarahkan ke kosong?” tegas narasumber.

Instruksi ini memunculkan dugaan adanya skenario besar yang sengaja disiapkan untuk menghalangi kandidat tertentu, atau bahkan membuka jalan bagi kompromi politik di tingkat atas.

Tak berhenti di situ, sumber lain juga mengungkap praktik politik uang yang mewarnai jelang Musda. Nama salah satu kandidat, Wongso Negoro, disebut aktif melakukan “serangan fajar” dengan membagi-bagikan uang ke pengurus.

“Kemarin kami dikumpulkan Pak Wongso. Masing-masing pengurus diberi Rp 500 ribu. Ini jelas bukan rahasia lagi,” ucap sumber tersebut.

Jika informasi ini benar, maka Musda Golkar Gresik bukan hanya tercoreng oleh praktik pengendalian suara, melainkan juga terperosok dalam jurang politik transaksional yang sudah lama menjadi penyakit kronis demokrasi Indonesia.

Lebih jauh, narasumber menekankan bahwa dalam Golkar Gresik, siapa pun calon ketua DPD, sebesar apa pun kekuatan finansialnya, pada akhirnya tetap harus tunduk pada restu pimpinan pusat.

“Kalau Pak Atik tidak memperbolehkan mengumpulkan PK, ya tidak jadi. Mau punya uang miliaran pun percuma. Golkar ini benar-benar terstruktur, semua harus melalui pimpinan, dari DPD sampai pusat. Restu lebih kuat daripada isi koper,” ungkapnya.

Pernyataan ini semakin menegaskan bahwa Musda bukan lagi ajang demokrasi kader, melainkan arena permainan elite, di mana garis komando jauh lebih menentukan daripada aspirasi pemilih di akar rumput.

Kontroversi ini menimbulkan pertanyaan besar tentang integritas internal Partai Golkar Gresik. Apakah Musda ke-XI benar-benar akan menghasilkan pemimpin yang lahir dari suara murni pemilik hak suara, atau hanya sekadar formalitas untuk mengesahkan skenario yang sudah ditentukan?

Jika benar terjadi pengendalian suara, intimidasi, serta praktik politik uang, maka Golkar Gresik tidak hanya kehilangan legitimasi, tetapi juga kepercayaan publik. Musda yang seharusnya menjadi pesta demokrasi kader justru bisa berubah menjadi “musyawarah penuh rekayasa”, di mana demokrasi hanya tinggal slogan, dan suara kader diperdagangkan dengan murah.

Sampai berita ini diturunkan, belum ada klarifikasi resmi dari Ketua DPD Golkar Gresik Nurhamim, maupun Sekretaris DPD Atek Ridwan terkait tudingan ini. Namun, satu hal pasti: aroma konflik internal di tubuh Golkar Gresik semakin pekat, dan semua mata kini tertuju pada Hotel Aston, Kebomas, Rabu mendatang—apakah Musda akan berjalan demokratis, atau justru menjadi panggung pengkhianatan terhadap suara kader sendiri.

Redaksi

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *