Mitra TNI – POLRI.com
Sang Garuda gagah perkasa menjaga Mòerah Putih.
Ia berdiri kokoh di atas segala ujian, melambangkan kekuatan, kewibawaan, dan martabat bangsa.
Namun di balik megahnya sayap itu, di akar-akar republik, gerombolan tikus rakus terus menggerogoti.
Mereka mengikis sedikit demi sedikit, melahap tanpa rasa malu, menghancurkan apa yang seharusnya dijaga dengan darah dan air mata para pendiri bangsa.
Garuda tetap berjaga, tapi sampai kapan Merah Putih bisa bertahan, jika tikus-tikus itu dibiarkan merajalela?
Hari ini, ketika bangsa memperingati 80 tahun kemerdekaan, rakyat dihadapkan pada ironi. Di satu sisi kita diajak berbangga atas pencapaian, di sisi lain kita dipaksa menelan pil pahit korupsi, keserakahan, dan pengkhianatan elit yang tega menjual harga diri bangsa demi perut dan kantong pribadinya.
Merdeka atau Sekadar Slogan?
“Merdeka” bukan sekadar kata yang diteriakkan di panggung upacara. Merdeka bukan sekadar jargon yang ditulis di spanduk perayaan. Merdeka adalah keadaan di mana rakyat terbebas dari belenggu penindasan,baik oleh penjajah asing, maupun oleh penguasa dalam negeri yang lebih kejam dari kolonial.
Apa arti merdeka jika rakyat masih diperas oleh pungutan liar di sekolah, dipalak oleh birokrasi yang korup, dipaksa tunduk pada mafia tambang, mafia pangan, mafia hukum, dan mafia proyek? Apa arti merdeka jika sebagian besar kekayaan negeri ini dikuasai segelintir elit yang haus kuasa, sementara rakyat kecil hanya kebagian remah?
Apakah ini Indonesia yang dicita-citakan oleh Sukarno dan Hatta? Apakah ini republik yang ditegakkan dengan darah para pejuang di medan perang?
Jika hari ini kita teriak “Dirgahayu Indonesia”, apakah itu doa tulus atau sekadar kamuflase untuk menutupi luka bangsa yang terus menganga?
Tikus-Tikus Rakus Menggerogoti
Korupsi di negeri ini ibarat kanker stadium akhir. Ia bukan hanya melemahkan tubuh negara, tetapi juga mencemari moral bangsa. Dari gedung parlemen hingga ruang kelas, dari kementerian hingga desa, dari proyek infrastruktur hingga dana bansos,semua diperlakukan seolah mesin pencetak uang pribadi.
Tikus-tikus rakus itu tidak kenal malu. Mereka berpakaian rapi, berdasi, berbicara manis tentang pembangunan, tapi tangan mereka terbenam dalam uang rakyat. Mereka menulis regulasi yang katanya demi kepentingan umum, padahal hanya untuk memperkokoh kepentingan kelompok.
Yang lebih menyakitkan, tikus-tikus itu sering berlindung di balik bendera Merah Putih, mengaku “nasionalis”, mengatasnamakan rakyat, bahkan tidak segan memakai jargon agama untuk menutupi kerakusan. Mereka lupa bahwa sejarah bangsa ini dibangun di atas pengorbanan orang-orang yang rela mati demi kehormatan, bukan demi rekening gendut.
Garuda Harus Bangkit
Garuda sebagai simbol negara,tidak boleh sekadar menjadi patung gagah di atas tiang. Ia harus hidup dalam setiap kebijakan yang berpihak pada rakyat, dalam setiap aparat yang benar-benar melayani, dalam setiap pemimpin yang berani berkata “tidak” pada korupsi.
Bangsa ini butuh Garuda yang bukan hanya menjaga simbol, tetapi juga menukik tajam menerkam tikus-tikus yang merusak pondasi negeri.
Apakah kita rela Merah Putih menjadi kain lusuh yang hanya dikibarkan tiap 17 Agustus, sementara makna di baliknya sudah mati dimakan kerakusan? Apakah kita akan diam, menonton negeri ini dirampok dari dalam, hingga suatu hari nanti kita hanya bisa berkata: “Indonesia pernah berjaya, sebelum habis dilahap pengkhianatnya sendiri”?
Saatnya Rakyat Menggertak
Rakyat tidak boleh lagi sekadar jadi penonton. Jangan biarkan perjuangan berhenti di tugu peringatan. Jangan biarkan semangat kemerdekaan redup hanya menjadi seremonial tahunan.
Saatnya rakyat menggertak. Suara rakyat harus kembali menjadi suara yang menakutkan bagi para tikus politik. Rakyat harus berani menolak kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir elit. Rakyat harus bersatu, mengingatkan bahwa republik ini bukan milik pejabat, bukan milik partai, bukan milik korporasi,tapi milik seluruh anak bangsa.
Jika negara ini benar-benar ingin sehat, rakyat harus menjadi dokter yang berani mengangkat kanker korupsi hingga ke akarnya. Jika Merah Putih ingin tetap tegak, rakyat harus menjadi tiang kokoh yang tidak bisa dibeli.
Dirgahayu Indonesia,Semoga Lekas Sembuh
Di usia 80 tahun, bangsa ini seperti orang tua yang gagah namun penuh luka dalam tubuhnya. Ia masih bisa berdiri, tapi pincang. Ia masih bisa tersenyum, tapi sakit. Ia masih bisa menyebut dirinya merdeka, tapi dalam diam menahan perih.
Dirgahayu Indonesia!
Semoga lekas sembuh.
Karena bangsa besar bukan bangsa yang kaya sumber daya, bukan bangsa yang punya gedung megah, melainkan bangsa yang berani membersihkan dirinya dari pengkhianat dan tikus-tikus rakus.
Dan hanya dengan itu, Garuda benar-benar akan kembali gagah perkasa, menjaga Merah Putih bukan sekadar kain, tetapi martabat yang tidak tergoyahkan.
Opini : Dirgahayu Indonesia ke-80
Oleh : Daniel Asong Pimred mitratni-polri.com