Tangerang || Jabar Mitra TNI – POLRI.com
Narasi “skandal anggaran gelap” di Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Tangerang semakin memanas, bagai api yang tersiram bensin. Setelah klarifikasi resmi dari Pemerintah Kota (Pemkot) yang mencoba menepis isu “proyek hantu PSEL”, seorang aktivis masyarakat dan pakar hukum, Kapreyani, S.P., S.H., M.H., justru membongkar lapisan-lapisan di balik pernyataan tersebut, menunjukkan bahwa yang terjadi bukan sekadar misinformasi, melainkan sebuah pertarungan narasi yang sarat dengan celah.
Menurut Kapreyani, bantahan Pemkot yang menyatakan tambahan anggaran DLH sudah sesuai “mekanisme” dan digunakan untuk perbaikan armada, terasa hambar tanpa rincian yang memadai. “Publik tidak hanya butuh penjelasan bahwa anggaran ‘sesuai mekanisme’, tetapi juga bukti konkret bahwa setiap rupiahnya benar-benar sampai ke tujuan,” tegasnya.
Pertanyaan publik—apakah dana perawatan truk sampah ikut dikorupsi—masih belum terjawab tuntas, meninggalkan ruang kosong yang diisi oleh kecurigaan. Poin paling tajam yang disorot Kapreyani adalah status Proyek PSEL. Pemkot mengklaim proyek ini “bukan fiktif” karena terikat kontrak, namun di saat yang sama mengakui bahwa proyek tersebut “belum berjalan optimal” dan “belum menyerap anggaran pemda”.
Kapreyani menyebutnya sebagai “ironi terbesar”. Sebuah proyek strategis yang seharusnya menjadi solusi, justru menjadi “hantu” yang nyaris tanpa progres, namun cukup kuat untuk menimbulkan dugaan adanya “skandal”. “Pengakuan bahwa ‘Oligo sampai saat ini masih belum menunaikan kewajibannya’ adalah pengakuan yang patut digarisbawahi,”
lanjut Kapreyani. Ia mempertanyakan mengapa Pemkot tidak mengambil langkah hukum terhadap pihak yang lalai tersebut, dan justru mengalihkan fokus pada program-program skala kecil seperti “teknologi RDF” dan “sedekah sampah”. Ini, menurutnya, “seolah-olah ingin menutupi kegagalan dalam proyek besar ini.” Kapreyani juga menyoroti bahaya narasi Pemkot yang menyebut kasus hukum pejabat sebelumnya sebagai “administrasi” dan bukan “korupsi”.
“Pernyataan ini sangat berbahaya karena seolah-olah mengesankan bahwa pelanggaran administrasi tidak memiliki konsekuensi serius, padahal seringkali pelanggaran administrasi adalah pintu gerbang menuju korupsi,” ujarnya. Klarifikasi semacam ini, alih-alih meredam, justru memicu keraguan publik,” ungkapnya.
Lanjut dipertayakan, apakah kasus-kasus tersebut telah tuntas diusut, atau hanya diselesaikan secara “administrasi” untuk menghindari sorotan publik?
Kapreyani juga mengkritik ajakan Pemkot agar masyarakat dan media menggunakan “kanal resmi” untuk klarifikasi. “Upaya untuk membatasi kritik ke dalam ‘kanal resmi’ justru akan membangkitkan kecurigaan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan,” imbuhnya, seraya menegaskan bahwa di era informasi bebas, upaya mengendalikan narasi justru akan membalikkan arah jarum jam.
Sebagai penutup, Kapreyani mengajak seluruh aktivis dan masyarakat untuk tidak berhenti memantau kasus ini. “Slogan ‘Kota Tangerang yang Berakhlak Mulia’ kini dipertaruhkan. Bukan hanya oleh dugaan skandal, melainkan juga oleh transparansi dan akuntabilitas yang diuji di hadapan publik,” pungkasnya.
“Karena jika skandal ini tidak diselesaikan, bukan tidak mungkin, slogan-slogan pembangunan akan terus menjadi alat untuk menutupi praktik-praktik tersembunyi yang merugikan rakyat,” tutup Kapreyani, seraya berpesan kepada awak media yang hadir dalam jumpa pers nya, untuk selalu berkarya untuk Indonesia lebih maju, Selasa 18/08/2025. (PRIMA)