Gresik || Jatim Mitra TNI – POLRI.com
Langkah kaki seolah dituntun masa silam, ketika mata mulai menatap kompleks makam di Gapurosukolilo, Gresik. Di sanalah, di antara tembok-tembok tua dan rimbunnya pepohonan, bersemayam sejarah yang tak lekang oleh waktu.
Di lokasi itu Makam Kiai Tumenggung Poesponegoro, Bupati Gresik pertama, berdiri khidmat bersama makam para keturunan bangsawan dan tokoh penting lainnya.
Seperti Tumenggung Ario Negoro, Kiai Tumenggung Djojodiredjo, Kiai Tumenggung Soeronegoro, dan kerabat-kerabat Katumenggungan lainnya.
Tiga gerbang paduraksa menyambut pengunjung yang datang. Paduraksa Timur, Tabir Timur, dan Paduraksa Utama. Pada paduraksa terakhir, dua baris kaligrafi Arab dan dua baris aksara Jawa menyatu dalam simfoni visual. Tepat di bawahnya, tulisan latin bertuliskan “Makam Poesponegoro” memandu siapa pun yang ingin mengirim doa.
Pintu cungkupnya rendah, membuat siapa pun yang hendak masuk harus merunduk. Di dalamnya, hanya terdapat satu makam yakni Kiai Tumenggung Poesponegoro.
Terbuat dari batu andesit, berjirat tinggi dan masif, dengan nisan berukir dari batu putih. Inskripsinya mulai memudar, namun maknanya tetap tertanam dalam ingatan sejarah Gresik.
“Beliau bukan hanya bupati pertama, tapi juga seorang mursyid thariqah Syattariyah yang mengajarkan nilai-nilai moral dan spiritual Islam. Beliau adalah umaro sekaligus ulama,” tutur Imron Arifin, Ketua Yayasan Keluarga Besar K.T. Poesponegoro Pusoro Katumenggungan Gresik, saat beri sambutan di acara peringatan dan selamatan Haul ke-306 Kiai Tumenggung Poesponegoro, Minggu (20/7).
Arsitektur kompleks ini merupakan paduan gaya timur dan lokal. Bangunan cungkup dan gapura dibuat dari batu putih, dengan ukiran khas Jawa yang halus.
Jirat-jirat tinggi terlihat berjajar, sebagian besar memiliki bentuk dasar nisan kurawal. Menandakan zaman dan kebudayaan yang melingkupinya.
Keberadaan prasasti batu bertulis dan gapura paduraksa yang megah menghadirkan nuansa khas. Seolah sedang berada dalam lanskap sejarah yang hidup.
Di dalam kompleks, udara terasa sejuk. Pohon beringin tua berdiri kokoh di sisi barat, menaungi area makam dengan akar yang menjuntai ke tanah, seakan menautkan masa lalu dengan masa kini.
Tanaman-tanaman tumbuh terawat di sekelilingnya. Memperkuat kesan damai dan tenteram yang terpancar dari lingkungan pemakaman.
Namun keteduhan itu sempat terusik. Sebuah tembok pembatas di sisi barat yang memisahkan kompleks Makam Poesponegoro dengan area Makam Pahlawan roboh.
Kejadian tersebut terjadi pada Kamis malam, 26 Desember 2024, dengan panjang tembok yang ambruk sekitar 7 hingga 8 meter, tinggi 2 meter. Sementara sisi utara kompleks masih berdiri tegak.
“Karena pohon di sini itu besar, sehingga akarnya mendorong pagar yang ada di sebelah barat yang membuat roboh. Jadi sekarang pagar Taman Makam Pahlawan ke Poesponegoro itu nggak ada pagarnya,” jelas imron.
Kiai Tumenggung Poesponegoro lahir di Tandhes, Gresik tahun 1651 Masehi. Ia merupakan keturunan ke-10 dari Raja Majapahit terakhir, Prabu Brawijaya V.
Kiprahnya dalam membangun Gresik dimulai sejak menjabat sebagai Lurah, lalu Mantri Nayaka, hingga akhirnya diangkat oleh Sunan Amangkurat II sebagai Bupati Gresik pertama pada 1688.
Di bawah kepemimpinannya, Gresik yang porak-poranda akibat peperangan bangkit kembali. Ia membangun Masjid Jami’ pertama dan menetapkan agar setiap desa di Gresik memiliki masjid jami’.
Peran spiritualnya tak kalah besar: sebagai mursyid ke-29 Thoriqoh Syattariyah dari jalur Sunan Giri, ia mengajarkan ilmu tasawuf, dzikir, dan ajaran moral Islam.
Beliau juga meninggalkan karya-karya tulis seperti Serat Jati Murni, Palintangan, dan Serat Jati Murti yang menjadi pedoman laku spiritual bagi murid-muridnya. Ajarannya tak sekadar teks, tapi juga praktik: Dzikir Thawaf, Nafi-Itsbat, Isbats Faqad, hingga Ismu Dzat yang menjadi bagian dari laku keilmuan sufistik.
Hari ini, kompleks makam menjadi salah satu destinasi wisata religi di Gresik. Ratusan peziarah datang tak hanya untuk mengenang, tetapi juga bermunajat. Letaknya yang berdekatan dengan pusat kota dan mudah diakses menjadikannya tujuan utama bagi mereka yang ingin merasakan napas spiritual yang tertinggal dari masa lalu.
“Ini situs yang bersejarah, ini milik putera bangsa, milik negeri ini dan merupakan aset negara, mudah-mudahan baik pemrov atau DPRD bisa ikut membantu sehingga kita bisa melestarikan artifak-artifak yang memiliki nilai sejarah,” harap Imron dengan mata yang seolah tak pernah lepas dari cungkup tempat leluhurnya dimakamkan.
Menyusuri kompleks makam Poesponegoro bukan sekadar melihat nisan dan batu tua. Ia adalah perjalanan untuk mengenali akar, meresapi makna, dan menghargai sejarah yang membentuk identitas suatu kota.
(Jambrong)