Pati || Jateng Mitra TNI – POLRI.com
Gelombang penolakan terhadap kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) terus memanas di Kabupaten Pati.
Hari ini, Jumat (19/07), sejumlah lembaga masyarakat menyelenggarakan diskusi publik untuk mengkaji aspek hukum kenaikan PBB P2 yang dinilai memberatkan.
Acara ini mengundang Bupati Pati, Sudewo, untuk memberikan klarifikasi, namun sang Bupati mangkir tanpa penjelasan, memicu kekecewaan dan kemarahan peserta.
Situasi ini tidak hanya berujung pada diskusi yang gagal, melainkan juga seruan masif agar Bupati Sudewo mundur dari jabatannya.
Inisiasi kegiatan ini digagas oleh tiga lembaga pemerhati hukum dan kebijakan publik.
Lembaga Studi Bantuan Hukum (LSBH) Teratai, Institut Hukum dan Kebijakan Publik (INHKA), dan Dewan Kota. Masing-masing diwakili oleh pimpinannya: Dr. Nimerodin Gulo, S.H., M.H. dari LSBH Teratai; Husaini dari INHKA; dan Pramudya Budi dari Dewan Kota, yang bertindak sebagai pemantik diskusi.
Kenaikan PBB P2 dan Potensi Pelanggaran Hukum
Dalam paparannya, Dr. Nimerodin Gulo menyoroti dugaan pelanggaran Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024 yang menjadi landasan kenaikan PBB P2.
Menurutnya, Perda tersebut mengatur kenaikan pajak sebesar 20% hingga 100%, namun faktanya kenaikan yang diterapkan Bupati Sudewo mencapai 250% atau lebih.
“Kenaikan PBB ini inkonstitusional dan tidak sesuai dengan Perda yang selalu digaungkan Bupati. Ditambah lagi, penilaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dilakukan semena-mena dan tidak sesuai kondisi lapangan,” tegas Dr. Gulo.
Ia menambahkan bahwa tindakan Bupati dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum, dengan potensi pemakzulan (impeachment) oleh DPRD.
Lebih lanjut, Dr. Gulo mengkritisi filosofi kenaikan pajak yang dinilai berpotensi menyimpang dari tujuan negara. “Negara dibentuk bukan untuk merampas hak rakyat, melainkan untuk menciptakan kesejahteraan. Upaya menaikkan pajak secara drastis ini patut dipertanyakan, karena bisa dinilai sebagai upaya menaikkan insentif yang berpotensi tindakan korupsi,” ujarnya tajam.
Kekacauan Tata Kelola Pemerintahan dan Indikasi Pencitraan
Direktur INHKA, Husaini, turut menyampaikan keprihatinannya atas sejumlah “kekacauan dan keanehan” dalam tata kelola pemerintahan di bawah kepemimpinan Bupati Sudewo.
Ia mencontohkan data sektor pertanian yang diklaim mencapai 10 ton per hektar, padahal realisasinya di lapangan maksimal 8 ton. Di sektor pendidikan, kebijakan regrouping sekolah telah menimbulkan keresahan di kalangan guru.
“Di sektor tata kota juga banyak kejanggalan. Yang ditata bukan tata kota secara luas, melainkan hanya ruang Pendopo dan ruangan orang-orang tertentu,” ungkap Husaini.
Ia juga menyinggung penggunaan dana CSR untuk beasiswa, yang dinilai sebagai bagian dari upaya pencitraan Bupati, serta berbagai keanehan lain yang mengindikasikan ketidakberesan dalam pengelolaan anggaran dan program.
Kesaksian Aroganasi dan Intimidasi Aparat
Beberapa tokoh masyarakat yang hadir turut memberikan kesaksian mengenai dugaan sikap arogan Bupati Pati Sudewo.
Selain itu, muncul pula pengakuan adanya intimidasi dari aparat terhadap warga yang menyuarakan penolakan kenaikan PBB.
Slamet Widodo, S.H., atau yang akrab disapa Om Bob, dengan tegas menyuarakan agar kenaikan PBB P2 dikaji ulang, mengingat beban yang ditimbulkan bagi rakyat dan ketidaksesuaian dengan janji kampanye Bupati yang tidak akan menaikkan pajak.
Kesaksian serupa terus mengalir dari berbagai pihak yang mengaku menjadi korban intimidasi.
Merespons hal tersebut, LSBH Teratai menyatakan kesiapannya untuk memberikan pendampingan hukum secara gratis bagi siapa pun yang mengalami intimidasi atau dilaporkan atas dugaan pencemaran nama baik.
Dr. Gulo juga menegaskan bahwa tindakan mengkritisi pejabat publik, termasuk Bupati, adalah bagian dari kebebasan berekspresi dan bukan merupakan tindak pidana yang dapat dijerat Undang-Undang ITE atau KUHP.
Publisher redaksi