Mitra TNI – POLRI.com
Pokok-Pokok Pikiran (Pokir) DPRD merupakan instrumen penting untuk menyerap dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan daerah.
Dasar hukumnya termaktub dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian, dan Evaluasi Pembangunan Daerah. Namun, meski memiliki landasan hukum yang kuat, pelaksanaannya seringkali rawan penyimpangan dan berpotensi menjadi celah korupsi.
Penyalahgunaan Pokir terjadi ketika anggota DPRD menyalahgunakan kewenangan mereka untuk kepentingan pribadi, kelompok, atau politik tertentu. Berikut adalah beberapa bentuk penyimpangan yang sering kali muncul:
Intervensi Langsung pada Proyek: Anggota DPRD terlibat langsung dalam menentukan pelaksana atau kontraktor proyek yang didanai dari Pokir.
Praktik ini bertentangan dengan prinsip pengadaan barang dan jasa yang seharusnya menjadi kewenangan eksekutif dan dilakukan melalui mekanisme lelang yang transparan.
Pokir sebagai Alat Transaksional: Pokir disalahgunakan sebagai komoditas politik atau ekonomi. Bentuknya dapat berupa permintaan “uang lelah” atau “fee” dari anggota dewan kepada kontraktor. Selain itu, Pokir juga dapat disalurkan hanya kepada kelompok tertentu yang memberikan keuntungan politik atau finansial, mengabaikan kebutuhan masyarakat yang lebih luas.
Pelanggaran Batasan Kewenangan: Anggota DPRD mengatur hingga detail teknis pelaksanaan kegiatan, padahal seharusnya Pokir hanya berisi usulan program atau kegiatan yang bersifat makro. Proses perencanaan yang lebih teknis seharusnya dibahas bersama dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) dan Forum Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD).
Tidak Selaras dengan Prioritas Pembangunan Daerah: Usulan Pokir tidak sinkron atau bahkan bertentangan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan RKPD. Hal ini bisa menyebabkan pembangunan berjalan tidak terarah dan tidak efektif.
Munculnya Pokir “Siluman”: Munculnya usulan kegiatan secara tiba-tiba yang tidak melalui proses perencanaan formal seperti Musrenbang. Kegiatan ini tiba-tiba dimasukkan ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tanpa melalui prosedur yang semestinya.
Memaksakan Pokir Masuk APBD: Anggota DPRD menekan pemerintah daerah untuk mengakomodasi usulan Pokir mereka, bahkan dengan ancaman tidak akan menyetujui APBD jika usulan tersebut tidak dimasukkan.
Dampak Negatif dari Penyalahgunaan Pokir
Penyalahgunaan Pokir memiliki dampak serius terhadap tata kelola pemerintahan yang baik:
Menurunnya Kualitas Perencanaan Anggaran: Anggaran tidak disusun berdasarkan kebutuhan prioritas, melainkan berdasarkan kepentingan politis.
Risiko Korupsi dan Kegiatan yang Tidak Tepat Sasaran: Alokasi anggaran yang tidak transparan dan tidak melalui prosedur yang benar meningkatkan potensi terjadinya korupsi dan inefisiensi.
Ketimpangan Pembangunan: Program atau proyek hanya terkonsentrasi di wilayah atau kelompok yang memiliki kedekatan politis dengan anggota dewan, sementara wilayah lain terabaikan.
Budaya Politik Transaksional: Praktik ini merusak integritas dan menciptakan budaya politik yang didasarkan pada pertukaran kepentingan, bukan pada pelayanan publik.
Lembaga seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menyoroti potensi korupsi dalam pengelolaan Pokir DPRD. Oleh karena itu, langkah-langkah penguatan pengawasan dan transparansi menjadi sangat krusial untuk memastikan Pokir benar-benar berfungsi sebagai jembatan aspirasi masyarakat, bukan sebagai alat untuk memperkaya diri atau kelompok. (*)