Tangerang || Jabar Mitra TNI – POLRI.com
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Tangerang saat ini berada di bawah sorotan tajam. Serangkaian kejanggalan dan isu kritis mencuat, mulai dari dugaan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PSEL) yang tidak transparan, kondisi armada pengangkut sampah yang memprihatinkan, hingga tarif retribusi yang naik di tengah layanan yang ambigu.
Semua ini diperparah dengan penetapan tersangka mantan Kepala DLH atas dugaan pelanggaran lingkungan di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Rawa Kucing.
Anggaran Naik, Proyek PSEL Gelap
Publik dikejutkan dengan usulan kenaikan anggaran DLH yang membengkak sekitar Rp36 miliar pada Rancangan Kerja Tahun Anggaran 2024. Kenaikan ini diklaim untuk “penyesuaian prioritas,” termasuk proyek PSEL, namun tanpa perincian yang jelas. Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa anggaran tersebut disulap di tengah proyek yang mandek.
Ironisnya, usulan kenaikan anggaran ini muncul di saat kondisi armada pengangkut sampah DLH disebutkan memprihatinkan. Pertanyaannya: mengapa dana lebih diprioritaskan untuk proyek PSEL yang belum jelas, sementara masalah fundamental seperti armada sampah yang usang terabaikan?
Proyek PSEL yang digadang-gadang sebagai solusi inovatif pengelolaan sampah ini pun tak menunjukkan progres berarti. Kerjasama dengan PT Oligo Infra Swarna Nusantara (OISN) sejak 2018 sudah berakhir, namun hingga kini belum ada kejelasan kelanjutannya.
Kepala DLH Kota Tangerang, Wawan Fauzi, bahkan mengakui bahwa belum ada progres signifikan dari pihak Oligo.
Jika proyek PSEL dengan PT OISN sudah “gelap,” mengapa Pemkot masih mengalokasikan anggaran besar untuk proyek yang sama? Ini menjadi pertanyaan besar yang belum terjawab.
Retribusi Naik, Layanan Ambigu
Di tengah sorotan tajam terhadap kinerja DLH, Pemkot Tangerang justru membebankan retribusi sampah kepada pelaku usaha melalui Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2025. Kebijakan ini diklaim untuk mewujudkan pengelolaan sampah yang lebih “profesional,” namun banyak pihak menduga ini hanyalah upaya instan untuk menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Meskipun Kepala DLH Wawan Fauzi menjanjikan layanan optimal sebagai imbalan dari retribusi ini, janji tersebut diragukan. Seorang pemilik restoran di Cikokol menyatakan, “Kami butuh bukti, bukan cuma janji. Kami butuh perbaikan layanan nyata, bukan sekadar janji manis untuk memungut biaya tambahan.”
Kebijakan ini menempatkan Pemkot Tangerang dalam posisi sulit: apakah retribusi ini benar-benar untuk perbaikan layanan publik, atau sekadar cara baru untuk mengisi kas daerah tanpa adanya perbaikan nyata?
Pelanggaran Berat di TPA Rawa Kucing
Skandal ini diperparah dengan penetapan mantan Kepala DLH, TS, sebagai tersangka oleh penyidik Gakkum Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). TS diduga tidak melaksanakan sanksi administratif mengenai pengelolaan TPA Rawa Kucing.
Beberapa pelanggaran serius yang ditemukan di TPA Rawa Kucing antara lain:
Pembuangan air lindi (leachate) langsung ke lingkungan
Saluran drainase yang tertutup sampah
Kapasitas landfill yang sudah terlampaui
Tidak adanya persetujuan teknis baku mutu air limbah
Pengawasan KLHK sejak 2022 hingga Juni 2024 menunjukkan tidak adanya perbaikan signifikan. Analisis laboratorium membuktikan adanya pencemaran sangat tinggi pada sampel air lindi.
Menanggapi hal ini, Ketua Lembaga Perlindungan Konsumen dan Lingkungan Nusantara (LPKL-NUSANTARA), Kapiyani, SP. SH.,MH, menyatakan keprihatinannya. Ia menekankan bahwa pihaknya akan mengawal persoalan lingkungan hidup ini dan mengkaji langkah hukum.
“Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang telah lalai atau mengabaikan pengelolaan TPA Rawa Kucing dengan baik. Berdasarkan undang Undang No. 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan Pengelolaan lingkungan Hidup, LSM lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan mewakili warga,” ujarnya, (07/08/2025)
Kata Kapreyani, dengan semua persoalan ini, kinerja DLH Kota Tangerang dipertanyakan. Mampukah mereka menjawab semua tuduhan dan mengembalikan kepercayaan publik, atau justru akan terus mengorbankan kebutuhan dasar masyarakat demi proyek yang “gelap” dan tak jelas?
Redaksi