Mojokerto ||Jatim MitraTNI-POLRI.com
Ditengah derasnya arus digitalisasi dan kuatnya intervensi teknologi kecerdasan buatan (AI) dalam industri media, kebutuhan akan jurnalis yang kompeten, berintegritas, serta terlindungi secara hukum bukan lagi pilihan—tetapi keharusan.
Fakta ini menjadi landasan utama digelarnya Pelatihan dan Pembekalan Jurnalistik oleh DPC PWDPI (Persatuan Wartawan Duta Pena Indonesia) Kabupaten Sidoarjo, yang berlangsung selama dua hari, 26–27 Juli 2025, bertempat di Pondok Pesantren Penjaga Al-Qur’an Al Maghribi, Mojokerto.
Kegiatan ini bukan sekadar rutinitas organisasi, melainkan bentuk nyata dari kepedulian terhadap nasib dan perlindungan hukum para jurnalis—khususnya di tingkat lokal. Diikuti oleh 60 peserta dari 30 media lokal hingga nasional, pelatihan ini menjelma sebagai ruang belajar sekaligus wadah refleksi, mempertemukan semangat profesionalisme dengan kesadaran etika dan spiritualitas dalam dunia pers.
Hukum Pers: Wartawan Bukan Penjahat
Sesi pembukaan diisi oleh praktisi hukum Supono, SH, yang mengangkat tajuk perlindungan hukum bagi insan pers. Dengan tegas ia menyampaikan, “Wartawan itu bukan penjahat. Tapi nyatanya, banyak dari kita yang masih berhadapan dengan pasal-pasal karet.” Ia menekankan pentingnya pemahaman hukum dan regulasi di tengah tekanan politik serta kepentingan pemodal. Diskusi ini dipandu langsung oleh Ketua DPC PWDPI Sidoarjo, Agus Subakti, ST, yang juga mengangkat isu krusial seperti kriminalisasi wartawan, minimnya perlindungan dari Dewan Pers, dan ketidakjelasan etika di era digital.
AI dan Jurnalisme: Teknologi Boleh Canggih, Nurani Tetap Panglima
Sesi selanjutnya menghadirkan Andre Yuris, Ketua AJI Surabaya sekaligus wartawan senior. Ia mengajak peserta berdamai dengan teknologi, namun tetap mengedepankan prinsip moral dalam menyampaikan berita. “AI bisa bantu menulis, bikin headline, olah data. Tapi AI tidak punya nurani. Wartawan sejati tidak boleh menyerah pada klikbait atau algoritma.”
Dengan gaya interaktif, sesi ini juga dipandu oleh Nurudin, yang mengajak peserta menyuarakan tantangan-tantangan nyata di lapangan, termasuk tekanan media, sensor, dan maraknya disinformasi.
Jurnalisme Adalah Jalan Juang, Bukan Sekadar Profesi
Pada malam hari, suasana menjadi lebih mendalam dan reflektif melalui tausiyah KH. Rakay Muhammad. Ia mengingatkan bahwa jurnalis bukan sekadar pencari berita, tapi juga penjaga nurani bangsa. “Wartawan yang takut miskin akan mudah dibeli. Kalau hanya kejar viral, kita kehilangan ruh perjuangan.”
Pesan spiritual ini menegaskan bahwa kekuatan utama seorang jurnalis bukan hanya pada pena dan kamera, tapi juga dalam keberanian dan keteguhan hati.
Fotografi Humanis: Kamera Adalah Mata Hati
Hari kedua pelatihan diisi oleh Mamuk Ismuntoro, fotografer senior nasional. Ia memecah paradigma lama dengan pendekatan jurnalisme visual yang lebih humanis. “Kamera bukan senjata. Bahkan HP bisa jadi alat melawan ketidakadilan, kalau kita peka pada momen.” Peserta diajak praktik langsung mengambil gambar dengan fokus pada nilai kemanusiaan, bukan sekadar estetika teknis.
Refleksi dan Seruan: Negara Masih Abai Lindungi Wartawan
Pelatihan ini juga menjadi forum kritik terbuka terhadap lemahnya peran negara dalam melindungi pekerja media. Meski ada perwakilan dari Diskominfo dan DPRD Sidoarjo, realita di lapangan menunjukkan bahwa banyak jurnalis—terutama di daerah—masih belum memahami hak hukumnya, rentan dikriminalisasi, bahkan jadi korban hoaks institusi.
Dalam sambutan penutupnya, Agus Subakti menegaskan:
“PWDPI bukan sekedar organisasi, tapi benteng terakhir bagi jurnalis yang ingin tetap berdiri di garis kebenaran. Jika negara lalai, biarlah kita yang membangun tamengnya.”
Kesimpulan: Wartawan Harus Saling Menguatkan
Di era algoritma, hoaks, dan tekanan ekonomi, dunia jurnalistik tengah menghadapi tantangan besar. Namun pelatihan ini menunjukkan bahwa bara perlawanan belum padam. Masih ada wartawan yang memilih jalan jernih, tetap berpihak pada kebenaran.
Kami menyerukan:
Saat negara enggan melindungi, jurnalis harus saling menguatkan.
Saat algoritma mengatur konten, wartawan harus kembali pada nurani.
Trio##