Jombang || Jatim Mitra TNI-POLRI.Com
Tradisi sedekah bumi di Desa Manduro, Kecamatan Kabuh, Kabupaten Jombang, tak hanya menjadi agenda tahunan. Ia berubah menjadi panggung persatuan, ketika warga, pemerintah, dan awak media berdiri sejajar, tanpa sekat, di atas satu pentas budaya. Minggu (1/6/2025).
Tak hanya warga yang memenuhi balai dusun Gesing, sejumlah jurnalis lokal juga turut meramaikan acara—bukan hanya meliput, tapi ikut naik panggung, menari, dan membaur. Momen langka yang menegaskan: komunikasi publik tak harus kaku dan satu arah.
Camat Kabuh, Anjik Eko Saputro, yang hadir langsung dalam acara, menegaskan pentingnya menjaga ruang-ruang kebersamaan di tengah arus individualisme.
“Tradisi ini mempertemukan semua elemen. Bukan hanya bentuk syukur, tapi momentum menguatkan jalinan sosial,” ujarnya.
Camat Anjik Eko Saputro juga terlihat dari wajahnya yang tersirat cerah, senyum dan bahagia sambil sedikit menggoyangkan badannya jelas melihatkan kalau acara sedekah bumi dimanduro betul-betul meriah terlihat dari warga yang antusias dan guyup rukun, seru ketika merebutkan makanan dan hasil bumi dengan diiringi lantunan gamelan dan suara sinden mengiringi.
Sementara itu, Kepala Desa Manduro,(Jamilun) yang terkenal tegas dan murah senyum menyampaikan bahwa sedekah bumi bukan sekadar ritual, tapi cermin filosofi desa.
“Kami ingin sedekah bumi ini bukan hanya dipahami sebagai budaya, tapi juga cara desa ini menjaga jati dirinya. Dan ketika media ikut naik ke panggung, itu artinya cerita desa ini tak lagi sepihak. Kami bicara, dan kami didengar,” ucap Jamilun.
Jamilun kepala desa Manduro juga menambahkan bahwa acara sedekah bumi diawali do’a bersama atau ritual di sedang Weji, jamilun juga menjelaskan sejarah sedang Weji awal terbentuknya desa Manduro sebelum terbentuknya desa Manduro sudah ada sendang Weji, kilas waktu ada yang menyebutkan moyang lelehur kita kalau dulu yang membangun adalah toko pewayangan yaitu kyai Semar, sabdo palonoyobengkong. Sedang Weji sendiri ditahun 1950,an auranya masih sangat sakral sekali dan sampai saat ini masih diyakini warga Manduro dan juga masih bnyak warga dari luar yang melakukan meditasi atau apapun biasanya bulan ruwah atau bulan Selo.
Selanjutnya dilakukan arak-arakan oleh sinoman dusun Gesing dengan membawah berbagai macam makanan dan hasil bumi diatas bayang (tempat tidur jaman dulu) untuk diperebutkan warga Manduro dan juga warga luar desa Manduro, tuturnya.
Acara ditutup dengan doa bersama dan pertunjukan seni Ludruk citra baru dari surabaya. Tak ada protokol kaku, tak ada barikade status. Yang tersisa adalah kesan: bahwa sedekah bumi di Manduro bukan hanya tentang bumi yang disyukuri, tapi tentang manusia yang dipersatukan.(Nh)